....KUTIPAN.......


Banyak anggapan bahwa lakubudaya spiritual dan ritual Jawa sebagai ‘klenik’, ‘gugon tuhon’, dan primitif penuh ketahayulan. Anggapan yang demikian sesungguhnya terlalu ‘tergesa-gesa’ dan lebih berdasarkan ‘keengganan’ untuk melakukan kajian mendalam tentang sistim religi, spiritualisme, dan filsafat hidup Jawa yang melandasi adanya lakubudaya spiritual dan berbagai ritual Jawa.

Setiap bangsa manusia tercipta dengan diberi kelengkapan ‘wiji spiritual’ yang ‘azali adi kodrati’ (build-in) dan sesuai (jumbuh, jw.) untuk menjalani hidup pada keadaan habitat (lingkungan alam mukim)-nya masing-masing. Kenyataannya, bahwa ada perbedaan situasi dan kondisi alam (termasuk ‘nuansa spiritual’-nya) pada bagian-bagian bumi. Dengan kata lain, dunia terbagi menjadi banyak ‘gugus spiritual’ yang membedakan ras-ras manusia secara fisik, bahasa, dan ‘wiji spiritual’-nya.

Interaksi wiji spiritual dengan keadaan habitat alam lingkungan menumbuh kembangkan ‘cipta rasa karsa’ masing-masing bangsa. Dari ‘cipta rasa karsa’ masing-masing, setiap bangsa melahirkan budaya dan peradabannya. Pada budaya dan peradaban setiap bangsa terkandung unsur-unsur budaya: sistim religi, spiritualisme, dan filsafat hidup masing-masing bangsa tersebut yang ‘azali adi kodrati’. Universal atau tidak sistim religi, spiritualisme, dan filsafat hidup suatu bangsa sifatnya relatif. Permasalahannya, ada pengaruh kondisi habitat lingkungan alam semesta setiap bangsa tersebut mukim.

Bahwa Jawa merupakan bagian bumi yang tropis, vulkanis, maritim (bahari), subur makmur lengkap flora dan fauna (plasma nutfah)-nya, tetapi penuh dengan bencana alam. Situasi dan kondisi alam semesta Jawa yang demikian tersebut mendasari sistim religi, spiritualisme, filsafat hidup, tata kehidupan, lakubudaya (tradisi/adat), bahasa, sistim ilmu pengetahuan, seni, kriya, sastra, dan karakter dasar bangsa Jawa.

Kesuburan bumi Jawa dengan ragam ‘plasma nutfah’ yang lengkap menjadikan orang Jawa tercukupi kesediaan bahan pangannya. Maka tidak ada ‘konflik’ dan ‘persaingan’ mendasar untuk berebut pangan. Ketersediaan bahan pangan oleh habitat alam melahirkan mata pencaharian utama wong Jawa pada bidang pertanian dan kebaharian. Jenis pekerjaan yang butuh ‘kerjasama’ banyak orang sehingga menjadikan hubungan antar manusia menjadi berkeadaban dengan pijakan nilai rukun dan selaras, gotongroyong.
Banyaknya bencana alam, menjadikan wong Jawa sadar dan paham akan ‘pekerti’ alamnya. Juga melahirkan pemahaman adanya hubungan ‘kosmis-magis’ manusia dengan alam semesta (jagad raya) berikut segala isinya. Kesadaran adanya hubungan ‘kosmis-magis’ menjadikan karakter wong Jawa ‘bersahabat’ dengan alam. Dari sini lahir ritual dan budaya spiritual Jawa yang berhubungan dengan alam dan seluruh isinya.

Olah ‘cipta rasa karsa’ pada wong Jawa melahirkan pemahaman adanya ‘maha kekuatan’ yang ‘murba wasesa’ (mengatur dan menguasai) seluruh jagad raya. Maka lahir kesadaran hakiki tentang adanya ‘realitas tertinggi’ untuk disembah yang disebut ‘Kang Murbeng Dumadi’ yang ‘tan kena kinayangapa’. Kesadaran ini melahirkan ritual dan budaya spiritual ‘panembah’ kepada sesembahan.

Dengan alur pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, maka bisa kita pahami bahwa ritual dan budaya spiritual Jawa mengandung unsur-unsur hakiki: sebagai panembah kepada ‘Sesembahan’, sebagai hubungan kosmis-magis dengan alam semesta dengan seluruh isinya, dan sebagai ekspresi berkeadabannya manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar